Tampilkan postingan dengan label cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label cerpen. Tampilkan semua postingan

Jumat, 28 Februari 2014

Aku Mensyukuri Hidupku

Pagi ini ku terbangun dengan senyum mengembang dibibirku yang mungil. Beranjak dari tempat tidur dan melihat sinar mentari yang menghangatkan membuatku selalu bersyukur kepada Sang Pencipta. Semalam papa datang membawa mawar putih di dalam mimpiku, dia tersenyum memberikannya. Senyum yang selalu membuatku tenang, senyum yang menguatkan ku dikala aku terjatuh, senyum papa dari surga. Terima kasih Tuhan, aku bersyukur masih melihat senyum itu walaupun hanya di dalam sebuah mimpi yang punya akhir saat aku terbangun.

Aku orang yang pandai bergaul, suka bercanda dan terkenal selalu periang setiap saat, aku Fania salah satu mahasiswi terkemuka di kota Bandung. Usiaku akan menginjak 19 tahun di bulan depan, papa meninggalkanku ke surga sudah dua tahun yang lalu saat usiaku 17 tahun. Sebelum papa meninggal dalam sebuah kecelakaan dia berpesan kepada ku agar aku tak akan berubah dan tetap menjadi Fania yang periang. Sebagai anak tunggal, aku merasa sangat kehilangan sosok papa yang selalu menyemangatiku.

Aku ingat akan pesan papa, tapi itu sangat sulit untuk ku lakukan dalam kenyataannya. Melamun, tak percaya dan merasa Tuhan tidak adil itulah aku yang sekarang. Setiap hari mama selalu mencoba menghiburku, walaupun sebenarnya aku tahu mama sendiri tengah berusaha tegar menghadapi kenyataan ini. Mama, sosok ibu yang sekaligus menjadi sosok seorang ayah saat ini untukku selalu dan selalu berusaha membuatku tersenyum mengikhlaskan apa yang telah terjadi. Aku merasa begitu tenang di pelukannya, tapi aku tak pernah bisa sepenuhnya mengikhlaskan ini semua. Papa dan mama adalah segalanya bagiku, haruskah Tuhan mengambil salah satu dari mereka? Mengapa?!

            “boleh aku duduk disini?”, suara ini mengacaukan lamunanku. Saat itu aku tengah melamun di taman sekolahku dulu, aku menoleh ke arah sumber suaru tersebut.
            “iya silahkan”, jawabku singkat melihat seorang anak laki-laki itu duduk di sebelahku.
            “aku Rendi, hmm.. aku anak pindahan dari Surabaya, mungkin tadi kamu tahu saat aku perkenalan di depan kelas”, kikuk sekali anak ini menurutku.
            “hmm.. yah aku tau kamu anak baru di kelas tadi”

Itu adalah awal perkenalanku dengan sosok Rendi, dia sosok orang yang baik dan begitu perhatian. Entah mengapa aku merasa dia mengerti keadaanku saat itu dengan berusaha menghiburku di sekolah. Aku sangat menghargai semua perhatiannya, tapi entahlah aku belum siap untuk bercerita terlalu jauh kepadanya. Mungkin nanti…

            “Fan, kita udah cukup lama temenan. Bahkan habis ini kita udah mau ujian terus kuliah dan mungkin aja kita akan jarang ketemu, apa kamu tetep nggak mau cerita tentang masalahmu selama ini? Yah siapa tahu kalau kamu cerita nanti aku bisa bantu”
            “hmm... Ren, kenapa sih Tuhan itu nggak adil sama aku. Dia tega ambil penyemangat di dalam hidupku, dia tega ngebiarin aku hidup sendiri sama mama”
            “sorry sebelumnya, maksudnya papa kamu udah meninggal?”
            “iya, dia itu penyemangat di hidupku. Tapi kenapa Tuhan tega ambil dia selamanya?”
            “Fania, nggak seharusnya kamu ngomong kayak gitu. Tuhan itu nggak pernah kasih cobaan diluar kemampuan kita. Kita hidup berkat Dia dan kita akan kembali kepada-Nya, saat kamu kehilangan sesuatu yang berharga di hidup kamu bukan berarti Tuhan menghancurkan hidupmu. Dia hanya ingin member satu pelajaran yang sangat berharga ke kamu, yaitu ikhlas.”
            “aku tahu itu, tapi pada kenyataannya itu sangat sulit. Aku mencoba ikhlas, tapi rasanya hati ini masih belum bisa, aku belum terbiasa dengan tanpa adanya sosok papa. Dia yang selalu menguatkanku saat aku terjatuh, yang selalu memberiku semangat setiap saat, selalu membuat hatiku tenang saat aku gelisah, selalu ada buat aku. Dia begitu berarti buat aku dan mama”
            “sebagai anak tunggal, aku mengerti apa yang kamu rasakan. Kamu benar-benar merasa kehilangan sosok yang selalu menjaga dan melindungi kamu. Kalaupun Tuhan ternyata mengirim aku untuk menjadi seperti sosok tersebut, apa kamu akan kembali tersenyum menjalani hidupmu?”
            “maksud kamu apa Ren? Nggak akan ada yang bisa gantiin sosok papa”
            “aku nggak akan mengganti sosok papa kamu di hidup kamu, tapi aku akan mencoba menjadi orang yang baru di dalam hidup kamu untuk menguatkanmu saat terjatuh, memberimu semangat setiap saat, membuat hatimu tenang saat gelisah dan aku akan berusaha untuk selalu ada buat kamu. Apa aku boleh melakukan semua itu?”

Sekarang di setiap pagi aku selalu mensyukuri apa yang ada di dalam hidupku, seorang mama yang begitu hebat dan seorang Rendy yang sekarang mewarnai hari-hariku kembali, mengembalikan senyumku kembali. Aku tahu Tuhan itu adil, Dia memang memanggil papa ke surga tapi Dia juga mendatangkan malaikat yang mampu membuatku mengikhlaskan semua yang terjadi.

Terima kasih Rendi, kamu telah mengubah hidupku.
Terima kasih mama, aku berjanji akan selalu membuatmu bahagia agar papa di surga juga bahagia melihat kita berdua. Aku mencintai kalian semua, aku mensyukuri hidupku.

Selasa, 25 Februari 2014

Tuhan, Tenangkan Hatiku.

Pagi ini aku terbangun, menghela nafas dan hatiku berbicara 'Tuhan, aku mensyukuri apapun yang Engkau beri saat ini. Entah itu rasa senang maupun sebuah masalah yang harus aku hadapi'. Ini adalah hari ketiga setelah pertengkaran itu, akankah ada perubahan? akankah kami akan saling mengerti kembali seperti waktu dulu? Entahlah...

Aku ingin sekali bercerita, menangis bahkan berteriak, tapi aku tak tahu harus bercerita kepada siapa, menangis di pelukan siapa, ataupun berteriak dimana. Hanya kamar yang tak terlalu rapi ini yang menjadi pelabuhan terakhirku, disinilah aku menangis, disinilah aku bercerita kepada diriku sendiri dan disinilah aku berteriak sekalipun hanya hatiku yang mampu berteriak dan disinilah aku merasa semakin sendiri. Merasa asing dirumah sendiri adalah hal yang paling menyebalkan.

Dua hari yang lalu, satu masalah kecil yang selalu saja ditimbulkan oleh si pintar membuat semuanya kacau sampai sekarang. Semua membelanya, semua menyalahkanku, dan semua tak memperdulikanku ada ataupun tidak. Sakit? yah sakit sekali hati ini, di dalam rasa sakit ini tumbuh sebuah kebencian yang benr-benar aku rasakan saat ini. Apa aku benci mereka semua? tidak, aku benci sikap mereka! dan aku juga benci saat ini aku menjadi lemah.

Aku tahu dia lahir dengan segala kemampuan yang dia punya, aku tahu dia pintar, dia berprestasi dia lah segalanya yang dibanggakan mama dan ayah. Aku bukanlah anak yang pintar lagi semenjak dia ada, benar-benar aku masih mengingatnya. Sebelum ada dia, aku cukup pintar, berprestasi di sekolah dan aku hidup bahagia dengan mereka tapi semua berubah saat dia terlahir ke dunia ini. Prestasiku menurun, aku tak lagi dekat dengan mereka terutama mamaku. Hari demi hari kami semakin besar, dia semakin berprestasi hampir di segala bidang dan aku semakin tahu bagaimana rasanya sakit hati melihat mama selalu membanggakannya ke setiap orang, seakan-akan dia hanya punya anak satu-satunya.

Aku tumbuh semakin dewasa, aku tak terlalu memperdulikan masalah itu lagi karena aku berfikir aku bisa lebih merasa bahagia dengan hidupku bersama teman-temanku. Tapi saat ini sakit hati itu muncul kembali dengan sebuah rasa benci, aku sadar dia saudaraku, aku sadar mereka adalah orang tuaku dan aku sadar aku masih benar-benar membutuhkan mereka. Tapi pada kenyataannya hati ini semakin sakit, aku bingung harus bagaimana. Padahal aku cuma menginginkan mereka berlaku adil antara aku dan dia, aku punya perasaan, apa mereka tidak berfikir hal itu?

Kali ini kalian benar-benar keterlalulan, apa kalian merasa saat ini anak kalian hanya dia?! lalu aku siapa?! Aku rasa kalian benar-benar mengenal semua tentang anak kebanggaan itu tapi kalian tak pernah mengenali siapa aku. Aku yang selalu terlihat bahagia diluar padahal aku selalu menangis di dalam hati. Apa kalian merasa dengan aku diam dikamar menyendiri itu bukan hal yang penting untuk mencari tahu aku kenapa?! Dengan aku memutar music dikamar kalian pasti tak akan tahu dan kalian pasti juga tidak akan berfikir bahwa sebenarnya aku menangis, menangis sendiri. Dari kamar aku dengar dengan jelas kalian perhatikan anak itu, kalian tanya dia sudah makan atau belum, kalian temani dia belajar, Tuhan rasanya tangis ini tak bisa kuhentikan. Kalian belum sadar selama dua hari yang lalu aku tak pernah sekalipun makan dirumah, apa kalian peduli aku sudah makan atau belum? apa kalian pernah sekedar bertanya tugas-tugas kuliahku bagaimana? Tuhan, beri aku kekuatan menghadapi ini semua, aku tahu mereka punya rasa sayang yang besar kepadaku hanya saja saat ini mereka lupa akan hal itu. Jangan biarkan aku terlarut terlalu jauh dari rasa benci ini Tuhan, maafkan dan tenangkanlah hati ini...

Minggu, 05 Mei 2013

HellBoy


“hei Ben siapa itu? Saudara kamu?”
“iya sekarang dia jadi saudaraku, awalnya tadi mamaku menemukan dia sendirian di jembatan. Karna mamaku nggak tega, akhirnya dia suruh tinggal dirumah”
“siapa nama kamu?”, tanyaku ke anak laki-laki suadara Ben yang baru ini.
Anak ini kira-kira berusia 4 tahun, wajahnya manis tapi mungkin dia agak pemalu.
“dia daritadi jarang bicara, mungkin dia pemalu”, jelas Ben.
“oohh”, gumamku.

“hai Ben, hai Re.. ih ini adekknya siapa lucu banget”, sapa Nasti ke kami bertiga.
“ini Nas adek barunya Ben, lucu ya. Sayang dia masih malu-malu”
“iya lucu banget, boleh ya cubit pipinya”, Nasti mencoba mencubit pipi anak kecil ini. Tapi tiba-tiba tangan anak kecil ini menampik tangan Nasti, seraya menatap Nasti dengan tatapan yang aneh.
“auuw!”, pekik Nasti kesakitan saat melihat tangannya memerah.
“Boy! Kamu nggak boleh kayak gitu. Itu nggak sopan”, Ben mencoba menasihati Boy, yah itulah nama yang diberikan keluarga Ben untuk dia.

“tangan kamu nggak papah?”
“enggak kok Re, ini cuma merah agak sakit dikit sih”
“kalau gitu masuk dulu kerumahku yuk, biar aku kompres”
“Nasti, Rere.. maafin Boy ya. Aku mau pulangin dia kerumah dulu”

Aku mencoba mengingat kembali tatapan Boy saat menampik tangan Nasti, rasanya tatapan itu benar-benar aneh untuk anak seumuran dia. Lagipula kalau hanya sekedar menampik tangan Nasti harusnya tangan Nasti nggak meninggalkan sakit ataupun luka, secara dia hanya anak berumur empat tahun. Perasaanku mulai berkata ada yang tidak beres dengan anak itu, sewaktu meninggalkan halaman rumahku anak itu menoleh kearahku dengan tatapan yang aneh itu.
Mungkin semacam tatapan orang yang menyimpan dendam…
***
Sudah tiga hari ini Boy tinggal bersama keluarga Ben, tapi menurut Ben memang ada yang janggal pada anak kecil itu. Ben menyadarinya kemarin malam saat dia dan keluarganya makan malam.

“kemarin waktu makan malam, nggak tahu kenapa aku merasa takut liat cara si Boy dengan garpunya. Dia selama tinggal dirumah nggak pernah bicara satu katapun dan waktu makan malam itu aku lihat tatapannya itu bener-bener dingin, aku coba senyum ke dia tapi dia nggak ngerespon”, cerita Ben panjang lebar. Mendengar cerita Ben yang mulai sadar ada yang aneh dengan  Boy, akumulai berani angkat bicara.

“sebenernya aku udah liat tatapan dia yang aneh itu waktu pertama kali aku ketemu dia. Inget kan waktu itu dia menampik tangan Nasti? Waktu itu juga dia liatin Nasti dengan tatapan itu. Dan waktu kamu mau pamit pulang, si Boy sempat noleh kebelakang liat aku dengan tatapan itu juga. Tatapannya itu kayak orang yang dendam Ben, tapi aneh..”, belum sempat aku selesai bicara Nasti memotongnya.

“aneh kalau misalkan tatapan dendam kayak gitu dimiliki sama anak yang baru berusia empat tahun. Belum lagi dia waktu menampik tanganku itu rasanya bener-bener sakit dan sampai membekas warna merah kan. Aku sih punya ponakan seumuran Boy, dia kalau mukul sih biasa-biasa aja Ben”

“ah tapi mungkin ini cuma karna dia masih beradaptasi aja kali ya. Ntar kalau udah kebiasaan dia mungkin nggak sedingin ini”, ujar Ben.
***
Pagi itu di depan rumah Ben banyak orang berkerumun dan terlihat adanya garis polisi didepan rumahnya. Hal yang benar-benar mengejutkan, kedua orang tua Ben meninggal karna bunuh diri dan yang lebih tragis lagi Ben berubah menjadi orang yang benar-benar stress. Dia terpukul dengan kejadian ini, tapi anehnya dia tidak mau berada dekat dengan Boy. Seakan-akan Ben benar-benar benci saat melihat Boy, karna kedua orang tua Nasti ingin mempunyai anak laki-laki, maka mereka mengadopsi Boy. Sebenarnya Nasty agak kurang setuju, tapi pikirannya berubah saat melihat mata Boy yang sekarang benar-benar seperti anak kecil yang sedih dan takut ditinggal sendiri. Saat Ben akan dibawa kerumah sakit jiwa untuk dipulihkan kembali kejiwaannya, dia selalu berteriak-teriak histeris “dia anak iblis! Dia bukan manusia! Dia akan membunuh orang tua yang penuh kasih sayang, dia iblis!”
***
Sehari setelah kejadian itu, Nasti menceritakan tingkah laku Boy yang aneh.
“kemarin malam aku lihat dia ke dapur mengambil pisau dan berjalan menuju ibuku, aku benar-benar merasa suasana saat itu mencekam karna aku lihat tatapan penuh dendam itu dimatanya. Untung saja ibuku langsung menoleh kebelakang dan mengambil pisau itu. Waktu Boy ditanya untuk apa dia mengambil pisau itu, dia tetap diam seperti biasanya”, Nasti bercerita dengan rasa takut.

“hmm.. mungkin ini memang hanya perasaan kita saja Nas. Dia kan cuma anak kecil, nggak mungkin dia berbuat criminal mau membunuh ibu kamu”, aku mencoba menenangkan Nasti.
“tapi apa kamu ingat perkataan Ben?! Dia bilang Boy itu bukan manusia, dia anak iblis”
“Nasti, sudahlah. Kita tahu orang tua Ben bunuh diri, jadi bukan karna Boy. Nanti sore kamu mau ke puncak sekeluarga kan? Kamu tenangin diri kamu disana”
“aku nggak mungkin bisa tenang kalau anak kecil aneh itu ikut”

***
Waktu menunjukkan pukul 10.00 malam, waktu semua kelurgaku hendak pergi untuk tidur, tiba-tiba telfon rumah bordering.

“Rere, keluarganya Nasti kecelakaan waktu perjalanan mau kepuncak dan semuanya nggak bisa diselamatkan. Tadi polisi telfon kerumah kita karna dia lihat panggilan terakhir di handphone Nasti nomer rumah kita”, kata mamaku usai menerima telfon dari polisi.
“apa?! Tapi kan ma..”
“mama mau kerumah sakit sama ayah, kamu dirumah aja istirahat. Besok sepulang sekolah kamu baru kerumah sakit”

Aku heran dengan pernyataan polisi tadi, Nasty sama sekali tidak pernah menelfonku di telfon rumah. Lalu bagaimana bisa di handphone Nasty ada panggilan keluar ke nomer rumahku. Masih sibuknya aku berpikir kejadian aneh ini, tiba-tiba terdengar bel rumahku berbunyi. Seketika jantungku berdegup kencang, rasa takut mulai menghantuiku. Siapa malam-malam begini datang bertamu, sementara tidak mungkin kalau mama iseng keluar meninggalkan rumah dengan memencet bel sebelumnya. Aku beranikan diriku untuk perlahan-lahan mencoba membuka pintu depan.

Ingin rasanya aku berteriak tapi tenggorokan ku benar-benar mongering, aku menatap sosok kecil didepan pintu itu dengan bercucuran keringat. Aku memberanikan diri untuk lari menuju kamar orang tuaku yang letaknya tak jauh dari pintu depan. Aku kunci kamar itu dan aku mencoba berlindung dibalik selimut tebal seraya mencoba menenangkan diri.

Bagaimana bisa Boy yang ikut perjalanan ke puncak bersama keluarga Nasti bisa selamat dan detik ini dia ada didepan pintu rumahku, benar-benar mustahil. Rasa takut benar-benar menguasaiku, aku lihat foto kedua orang tuaku yang tergantung rapi di dinding tiba-tiba bergerak-gerak dan jatuh. Seketika aku ingat perkataan Ben “dia anak iblis! Dia bukan manusia! Dia akan membunuh orang tua yang penuh kasih sayang, dia iblis!”

Jantungku berdegup kencang dan air mataku jatuh karna rasa takut akan terjadi apa-apa dengan kedua orang tuaku. Aku berharap saat ini hanyalah mimpi buruk yang akan segera berakhir. Aku benar-benar berharap kejadian yang dialami kedua sahabatku Ben dan Nasti hanyalah bagian dari mimpi ini. Aku  mencoba membenamkan kepalaku dalam selimut dan aku mencoba berteriak sekencang-kencangnya “ini semua mimpi! Hanya mimpi! Kau! Entah siapa, hanyalah sebuah mimpi!”.

Aku terus berteriak dan menangis, sampai akhirnya aku sadar sinar matahari menyambutku. Aku terbangun dengan kepala yang teramat pusing dan aku tersadar aku tidak lagi dikamar kedua orang tuaku. Pagi telah datang, aku mencoba mencari kedua orang tuaku dengan cemas. Aku menoleh ke kamar kedua orang tuaku dan foto mereka masih tertata rapi di dinding.

Aku menuju keruang makan dan mereka berdua ada disana menikmati the hangat, langsung kupeluk mereka berdua dan mengucap syukur kepada Tuhan. Sungguh mimpi yang buruk dan panjang.